
AKHLAK DAN ETIKA DALAM ZAKAT: BERZAKAT, MENERIMA DAN PENGELOLAANNYA
Para ulama membagi ajaran Islam kepada empat aspek, yaitu akidah, ibadah, muamalah dan akhlak.
Dalam Islam risalah nilai dan akhlak menempati peringkat pertama[1]. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[2]
Dalam riwayat lain masih dari Abu Hurairah dengan redaksi sebagai berikut:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ[3]
Islam mengaitkan akhlak dengan akidah. Islam menganggap tidak beriman seseorang yang tidak menepati amanah dan seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya kelaparan dan tidak beriman seorang yang berzina, mencuri atau meminum minuman keras[4]. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.”[5]
Begitu pula Islam mengaitkan akhlak dengan ibadah serta menjadikan akhlak sebagai buah dan faedah dari ibadah. Maka buah mendirikan shalat adalah إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ (Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, QS al-Ankabut: 45), zakat adalah تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ (dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, QS. at-Taubah: 103), puasa) لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ agar kamu bertakwa, QS. al-Baqarah: 183).[6]
Maka Apabila semua ibadah ini tidak membuahkan akhlak maka akan hilanglah nilainya disisi Allah.[7] Rasulllah saw. bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan selain begadang.[8]
Begitu juga Islam mengikat muamalah dengan akhlak, yaitu dengan kejujuran, amanah, adil, ihsan, kebaikan, silaturrahim dan kasih sayang.[9]
Islam mengaitkan semua aktivitas kehidupan dengan akhlak, maka tidak ada pemisahan antara ilmu dengan akhlak, politik dengan akhlak, ekonomi dengan akhlak, dan antara perang dengan akhlak. Akhlak adalah daging kehidupan Islam dan kuncinya[10].
Pengertian Akhlak
Akhlak dari segi kebahasaan, kata akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari kosakata bahasa arab (akhlak) yang merupakan bentuk jamak dari kata خلق . Dalam kamus Lisanul Arab kata خلق yang berarti as-sajiyyah (perangai), at-tabi’ah (watak), al-adab(kebiasaan) dan ad-din (keteraturan).[11]
Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagi berikut:
الخلق عبارة عن هَيْئَة فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تُصْدِرُ الْأَفْعَالَ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ فَإِنْ كَانَتِ الْهَيْئَةُ بِحَيْثُ تَصْدُرُ عَنْهَا الْأَفْعَالُ الْجَمِيلَةُ الْمَحْمُودَةُ عَقْلًا وَشَرْعًا سُمِّيَتْ تِلْكَ الْهَيْئَةُ خُلُقًا حَسَنًا وَإِنْ كَانَ الصَّادِرُ عَنْهَا الْأَفْعَالَ الْقَبِيحَةَ سُمِّيَتِ الْهَيْئَةُ الَّتِي هِيَ الْمَصْدَرُ خُلُقًا سَيِّئًا12
Akhlak adalah ibarat dari sikap yang menetap kuat dalam jiwa seseorang, bersumber darinya perrbuatan-perbuatan tertentu, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.Apabila sikap tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut akal dan syara` maka haeah tersebut dinamakan akhlak baik. Dan apabila haeah tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.
Menurut Abuddin Nata ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dalam kaitan ini Ahmad Amin mengumpamakan, bahwa seseorang yang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan untuk memberi, dan keinginan itu selalu ada padanya meskipun terdapat keadaan yang menghalanginya, kecuali keadaan yang menghalanginya itu luar biasa dan terpaksa. Sebaliknya orang kikir ialah orang yang dikuasai oleh rasa cinta harta, dan mengutamakannya lebih dari membelanjakannya. Dengan keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah orang yang menguasai keinginan baik secara berturut-turut. Sebaliknya orang jahat atau durhaka ialah orang yang selalu dikuasai oleh keinginannya untuk berbuat jahat atau durhaka.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan,yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, atau tidur. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak melainkan perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak ubahnya dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka begitu mendengar panggilan shalat ia tidak merasa beratmengerjakannya, dan tanpa pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri si pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yangbersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena paksaan, tekanan atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk ke dalam akhla dari si pelakunya.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak ialah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatan perbuatan akhlak.
Kelima, perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaki (etis) yang acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami adalah perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas, berkedip, bersin, dan lain sebagainya.
Terhadap perbuatan alami, pelakunya tidak biasa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan etis, yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”.[13]
Perbedaan Dan Persamaan Akhlak Dengan Etika, Moral dan Susila
Adapun persamaan akhlak dengan etika, moral dan susila adalah sebagai berikut :
a) Akhlak, etika, moral, dan susila mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat dan perangai yang baik;
b) Akhlak, etika, moral, dan susila merupakan prinsip atau aturan hidup manuisa untuk menakar martabat dan harkat kemanusiaannya;
c) Akhlak, etika, moral, dan susila seeorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan fator keturunan yang bersifat tetap, statis dan konstan tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang.
Adapun perbedan akhlak, etika, norma dan susilanya adalah sebagai berikut:
a) Akhlak merupakan istilah yang bersumber dari al-Quran dan as-sunnah. Nilai-nilai yang menetukan baik dan bururk layak atau tidak layaknya sesuatu perbuatan, kelakuan sifat dan perangai bersifat universal dan bersumber dari Allah
b) Etika bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika bersifat temporal dan sangat bergantung pada aliran filosofis yang dianutnya
c) Moral adalah ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang berlaku di masyarakat. Berpedoman kepada adat kebiasaan yang berlaku. Jika etika bersifat konseptual teoritis maka moral bersifat terapan karena mengacu kepada apa yang berlaku di masyarakat.
d) Susila atau kesusilaan bersumber pada akal sehat dan nurani yang telah menjadi kesadaran kolektif pada masyarakat.
e) Etika moral dan susila akan bertambah kokoh jika dipadukan secara simfoni dengan Islam[14].
Pengertian Zakat dan Korelasinya Dengan Akhlak
Untuk mencapai tujuan pemerataan kekayaan nasional, Islam menetapkan sejumlah aturan yang mencakup sedekah dan zakat[15]serta infak.
الزكاةmenurut bahasa adalah tumbuh dan bertambahdikatakan زكا الزرع apabila tumbuh dan berkembang. Bisa juga berarti bersih, seperti dalam QS. asy-Syam: 9, bisa juga berarti pujian seperti dalam QS. An-Najm: 32, bisa juga berarti baik dikatakan رجل زكيّyaitu selalu bertambah kebaikan dari kaum yang baik. Dinamakan harta yang dikeluarkan secara syareat zakat karena bertambah ketika dikeluarkan[16].
Sedangkan Zakat menurut istilah syara’ adalah:
الحصة المقدرة من المال التي فرضها الله للمستحقين
Bagian yang ditentukan dari harta yang diwajibkan oleh Allah untuk orang-orang yang berhak menerimanya.[17].
صدقة menurut bahasa adalah pemberian yang mengharapkan pahala dari Allah. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah memilikkan kepada orang lain tanpa pengganti karena ingin mendekatkan diri pada Allah.
Sodaqah dalam istilah Fuqaha ada lima arti”
Zakat Sodaqah tathwwu Waqaf Pemberian seseorang karena haknyaKebaikan[18]
الإنفاق menurut bahasa artinya habis. menurut istilah syara’ adalah mengeluarkan harta yang dimiliki. Menurut ar-Raghib al-Asfahani infak itu bisa berupa harta bisa juga yang lainnya, bisa wajib bisa sunnah[19].
Kedudukan zakat menempati satu tempat yang penting di dalam Islam. Perintah untuk menunaikan shalat dalam al-Quran selalu diikuti acuan pada zakat dengan penekanan yang sama. Salah satu dari tujuan zakat yang penting adalah untuk mempersempit perbedaan ekonomi di masyarakat sampai batas yang serendah mungkin.[20] Di dalam al-Quran terdapat kurang lebih 27 ayat yang menyejajarkan shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.[21]
Adapun korelasi zakat dengan akhlak maka dalam hal ini Ibn Hajar mengatakan zakat menurut bahasa artinya tumbuh dan berkembang dikatakan زكا الزرع apabila tumbuh dan berkembang begitu juga dalam harta dan bisa juga berarti membersihkan. Secara syara memandang kedua arti tesebut bersama-sama. Yang pertama karena dengan mengeluarkan zakat itu adalah sebab berkembangnya harta atau dengan arti bahwa pahala dengan sebab mengeluarkan zakat akan bertambah banyak atau dengan arti hubungannnya dengan harta yang tumbuh dan berkembang seperti perdagangan dan pertanian. Dalil yang pertama adalah hadits مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَال(sodaqah itu tidak akan mengurangi harta[22]) dan karena pahalanya akan berlipat ganda sebagaimana hadits إن الله يربي الصدقة (bahwa Allah menyuburkan sedekah[23]) dan adapun yang kedua yaitu bahwa zakat itu membersihkan jiwa dari akhlak tercela seperti bakhil dan pembersih dari dosa[24]. Oleh karena itu Allah berfirman dalam QS. At-Taubah: 103;
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Dalam menafsirkan ayat tersebut Muhammad Rasyid Ridha mengatakanتُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا yaitu dengan zakat itu membersihkan mereka dari akhlak jelek seperti bakhil, tamak, egoisme dan bengis terhadap orang fakir serta akhlak jelek lainnya. dan mensucikan mereka yaitu menumbuhkan dan mengembangkan serta mengangkat jiwa mereka dengan kebaikan dan berkah baik akhlak maupun amal sehingga dengan zakat itu mereka menjadi ahlu sa’adah baik didunia maupun akherat.[25] Kemudian menurut az-Zamkhsyari التزكية (mensucikan) itu memiliki arti lebih dalam membersihkan.[26]
Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat baik itu berupa kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh organisasi, lembaga maupun pemerintah adalah penjabaran praktis dari apa yang dimaksud amil zakat, sebagaimana yang termaktub dalam QS. at-Taubah: 60.
Wewenang mengangkat amil adalah wewenang negara. Dalam QS. at-Taubah tersebut Allah mengatakan والعاملين عليها setelah kata ‘amilin dikuti dengan kata ‘alaiha kata ‘ala menunjukkan pemerintahan. Sebagaimana dikatakan فُلَانٌ عَلَى بَلَدِjika ia adalah penguasa Negara tersebut[27].
Oleh karena itu Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan والعاملين عليها sebagai berikut:
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا أَيِ: الَّذِينَ يُوَلِّيهِمُ الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ الْعَمَلَ عَلَى جَمْعِهَا مِنَ الْأَغْنِيَاءِ وَهُمُ الْجُبَاةُ، وَعَلَى حِفْظِهَا وَهُمُ الْخَزَنَةُ، وَكَذَا الرُّعَاةُ لِلْأَنْعَامِ مِنْهَا، وَالْكَتَبَةُ لِدِيوَانِهَا، وَيَجِبُ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُسْلِمِينَ،
Amil Zakat itu adalah orang yang diangkat oleh pemimpin atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya yang disebut al-jubah dan yang memeliharanya yang disebut al-khazanah. Dan begitu juga yang mengembala binatang ternak (hasil zakat) serta pencatat pada diwan. Dan mesti mereka itu adalah dari kalangan muslimin. [28]
Kemudian Ibn Hajar berdasarkan hadits riwayat Ibn Abbas yang menceritakan tentang pengutusan Muadz bin Jabal untuk mengajak orang Yaman supaya masuk Islam serta melaksanakan shalat dan zakat[29], berdasarkan hadits tersebut ia mengatakan bahwa Imamlah yang berhak mengangkat orang yag memungut dan menyalurkan zakat. Teknisnya bisa langsung oleh Imam ataupun wakilnya.[30]
Pengelolan zakat oleh lembaga amil zakat, memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
Pertama,untuk menjamin kepastian dan displin pembayar zakat.
Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
Ketiga, untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala perioritas yang ada pada suatu tempat.
Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami.
Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan[31].
Adab-Adab Bagi Para Muzakki:
a) Niyat yang ikhlas hanya karena Allah
Allah berfirman sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Lail ayat ke 17-21;
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى (17) الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى (18) وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى (19) إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى (20) وَلَسَوْفَ يَرْضَى (21
Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,(17) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, (18) padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,(19) tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. (20) Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan (21)
b) Memilih dan mengeluarkan yang terbaik dan yang paling disukai dari hartanya.
Firman Allah dalam QS. Ali Imran 92;
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya
c) Berasal dari harta dan usaha yang halal
Sebagaimana firman Allah swt. yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah 267;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Dan dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda;
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata,: Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung[32]
d) Tidak Riya
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah: 264
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
e) Menghormati para mustahik dan tidak menyakiti mereka
Allah swt. berfirman sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 264;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
f) Tidak mengambil kembali apa yang sudah di zakatkan,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَرْجِعُ فِي صَدَقَتِهِ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ فَيَأْكُلُهُ
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Permisalan orang yang mengambil kembali sedekahnya, seperti seekor anjing yang muntah kemudian ia menjilat dan memakan kembali muntahannya.[33]
g) Menyegerakan membayar zakat.
Allah berfirman sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Maidah 48;
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Dan firman-Nya dalam QS. al-Munafiqun ayat ke 10;
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.
h) Mengeluarkan zakat dengan tersenyum dan wajah berseri serta dengan keridhaan
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا إِنَّ نَاسًا مِنْ الْمُصَدِّقِينَ يَأْتُونَنَا فَيَظْلِمُونَنَا قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضُوا مُصَدِّقِيكُمْ قَالَ جَرِيرٌ مَا صَدَرَ عَنِّي مُصَدِّقٌ مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَهُوَ عَنِّي رَاضٍ
Dari Jarir bin Abdullah ia berkata; Beberapa orang Arab dusun datang mengadu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, “Beberapa petugas zakat mendatangi kami, lalu mereka bertindak aniaya terhadap kami.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Layanilah para petugas zakat itu dengan baik.” Jabir berkata, “Semenjak itu aku tidak pernah lagi mendengar para petugas zakat pulang melainkan dengan puas dan senang.[34]
i) Merahasiakannya[35]
Menurut madhab Hanafi ini adalah yang utama karena bisa menjauhkan diri dari riya dan tidak menghinakan orang fakir. Sedangkan menurut Madhab Syafi’i dan Hambali yang paling utama adalah menampakkannya supaya menjadi contoh dan menghilangkan su’udzan. Adapun tentang shadaqah sunnah maka sepakat para ulama yang utama adalah merahasiakannya.
Keutamaan merahasiakan shadaqah adalah sebagaimana firman Allah swt. yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 271;
إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan
Namun Mazhab Syafi’i menambahkan jika niyatnya supaya menjadi contoh dan tauladan, bukan riya dan tidak menyakiti yang menrima maka menampakkan sedekah lebih utama[36]
j) Bersyukur pada Allah atas nikmat harta dan infak serta menjauhkan diri dari kesombongan dan ujub[37].
وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخَافُونَ أَنْيَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur
k) Tidak menganggap besar apa yang disodaqahkan dan menganggap kecil apa yang diberikan agar terhindar dari kesombongan[38]
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Mudatsir: 6;
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak
l) Tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih
Firman-Nya dalam QS. Al-Insan: 9-10
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9) إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (9) Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (10)
m) Berdoa ketika menyerahkan zakat
اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلَا تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا
Ya Allah jadikan ia sebagai simpanan yang menguntungkan dan jangan jadikan ia pemberian yang merugikan[39]
Adab-Adab Bagi Lembaga Pengelola Zakat
a) Bersikap amanah, jujur dan professional
Sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisa ayat ke 58;
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat
b) Di kelola atas bimbingan para Ulama dan dengan kaedah-kaedah syar’i.
عن عَائِشَةُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aisyah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak[40]
c) Tidak berbuat dzalim pada masyarakat [para muzakki] dengan berbuat sewenang-wenang dalam hal zakat.
Firman Allah swt. sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 188;
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui
d) Tidak boleh menfungsikan harta zakat kecuali dibenarkan oleh ketentuan syari’at Islam.
Firman-Nya dalam QS. at-Taubah: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
e) Mendoakan para muzakki
Firman-Nya dalam QS. At-Taubah:103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Adapun doanya adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلَانٍ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
Dari ‘Abdullah bin Abi Aufaa berkata; adalah Nabi saw. apabila suatu kaum datang kepadanya dengan membawa shadaqah mereka, Beliau mendo’akannya: “Allahumma shalli ‘alaa aali fulan” (Ya Allah berilah rahmat kepada keluarga fulan”). Maka ayahku mendatangi Beliau dengan membawa zakatnya. maka Beliau mendo’akanya: “Allahumma shalli ‘alaa aalii Abi Aufaa”. (Ya Allah, berilah rahmat kepada keluarga Abi Aufaa”).[41]
اَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا
semoga Allah memberikan pahala atas apa yang engkau berikan, dan semoga Allah memberikan barakah atas harta simpananmu dan menjadikannya sebagai pembersih bagimu.[42]
Adab-Adab Bagi Para Mustahik
a.) Menerima zakat dengan lapang dada.
Sebagaimana firman Allah swt. yang termaktub dalam QS. at-Taubah ayat ke 58
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah
b.) Mendo’akan kepada para muzakki dan para pengelola zakat
Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. at-Taubah: 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Adapun doanya adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلَانٍ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
Dari ‘Abdullah bin Abu Aufaa berkata; adalah Nabi saw. apabila suatu kaum datang kepadanya dengan membawa shadaqah mereka, Beliau mendo’akannya: “Allahumma shalli ‘alaa aali fulan” (Ya Allah berilah rahmat kepada keluarga fulan”). Maka ayahkuku mendatangi Beliau dengan membawa zakatnya. maka Beliau mendo’akanya: “Allahumma shalli ‘alaa aalii Abu Aufaa”. (Ya Allah, berilah rahmat kepada keluarga Abu Aufaa”).[43]
اَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا
semoga Allah memberikan pahala atas apa yang engkau berikan, dan semoga Allah memberikan barakah atas harta simpananmu dan menjadikannya sebagai pembersih bagimu.[44]
c.) Mempergunakan harta zakat untuk kebaikan.
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ
Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan serta merasa bangga dan sombong [45
[1]Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishadi al-Islami, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), hlm. 7
[2]HR. Imam Ahmad dalam Kitabnya Musnad Imam Ahmad, Kitab Musnad al-Mukatsirin Minas Shahabah Bab Musnad Abu Hurairah, no 8952, Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Muassasah ar-Risalah,2001, Jil XIV)), hlm. 512, HR al-Bukhari dalam Kitab Adabul Mufrad, Bab Husnul Khuluk, no 273. Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Jufi al-Bukhari, Adabul Mufrad, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif), hlm. 143, dan HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘Alas Sahihain, Kitab Tawarikhil Mutaqaddimin Bab Wamin Kitabi Ayati Rasulillah Saw Allati Hiya Dalailun Nubuwwah, no 4221.Lihat Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ‘Alash Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990, Juz II), hlm 670
[3]HR. al-Baihaki dalam as-Sunan al-Kubra, Kitab Asy-Syahadah Bab Bayanu Makrimil Akhlak Wa Ma’aliha,no. 20782, lihat Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali Abu Bakar al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, Juz X), hlm. 323
[4]Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishadi al-Islami, hlm. 7
[5]HR. Imam Ahmad dalam kitabnya Musnad Imam Ahmad, Kitab Musnad al-Mukatsirin Minas Shahabah Bab Musnad Abu Hurairah, no 9970, Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jil XVI, hlm. 47, HR. Muslim dalam sahihnya, Kitab Al-Iman Bab Al-Hats ‘Ala Ikramil Jar Wa Ad-Dhaif, no 47. Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abul Husain al-Qusyairi an-Naisyaburi, Sahih Muslim,(Beirut: Dar Ihyaut Turats al-Arabiyyi, TT), hlm. 68 dan HR. Al-Bukhari dalam Sahihnya Kitab Al-Adab Bab Man Kana Yuminu Billah Wal Yaumil Akhir Fa La Yudi Jarahu, lihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Ju’fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Thauq an-Najah, 1422H, Jil. VIII), hlm. 11
[6]Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishadi al-Islami, hlm. 7-8
[7]Ibid.,
[8]HR. Ibn Majah dalam sunannya, Kitab as-Shiyam Bab Ma Ja’a Fil Ghibah Wa Ar-Rafats, no 1690. lihat Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid Ibn Majah al-Qazwini (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, Juz I), hlm. 539
[9]Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishadi al-Islami, hlm. 8
[10]Ibid.,
[11]Tim Tafsir al-Qur’an Tematik, Tafsir Al-Quran Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat Dan Berpolitik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2009), hlm. 1
[12]Abu Hamid Muhammad bin Muhamad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Darul Marifah, TT, Jil. III), hlm. 53
[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.5-7
[14]Tim Tafsir al-Qur’an Tematik, Tafsir Al-Quran Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat Dan Berpolitik, hlm. 11-12
[15]Afzalurrahman, Muhammad: Encyklopedia of Seerah. Terj. Dewi Nurjulianti, et. al. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 2000), hlm. 119
[16] Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr al-Muashir, TT, Jil III), hlm. 1788
[17]Dr. Najih Hammad,Mujam al-Musthalahat al-Maliyyah wa a-Iqtishadiyyah fi Lughatil Fuqaha,(Damaskus: Darul Qalam, 2008), hlm. 237
[18]Ibid., 276
[19]Ibid.,87
[20]Afazalurrahaman, Muhammad Sebagai Seorang pedagang, hlm. 152
[21]Prof. Dr, KH. Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 68
[22]HR. Muslim dari Abu Hurairah, Kitabul Birri was Shilati wal Adab Bab Istihbabul ‘Afwi wa at-Tawadhu’ino. 2588. Jil. IV 4, hlm. 2001
[23]HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah dalam sahihnya, Kitab Az-Zakat Bab As-Shadaqah Min Kasbin Tayyib no 1410.
[24]Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bary Syarah Sahih al-Bukhari, (Beirut: Darul Ma’rifah, 13879 H, Jil.III), hlm. 262
[25]Muhammad Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir al-Quranil Hakim (Tafsir al-Manar), (Mesir: al-Haiah al-Misriyyah, 1990, Jil. XI), hlm 20
[26]Abul Qasim Mahmud bin Amer az-Zamakhsyari, al-Kasyaf, (Beirut: Darul Kita al-Arabiyyi, 1407 H, Jil. II), hlm. 307
[27]Abu Abdillah Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib,(Beirut: Dar Ihyaut Turast al-Arabi, 1420, Jil.16), hlm. 85
[28]Muhammad Rasyid bin ali Ridha, Tafsir al-Quranil Hakim hlm. 426
[29] HR. al-Bukhari dalam sahihnya, Kitabuz Zakat Bab Wujubiz Zakat, no. 1395,Jil. II, hlm. 104 dan HR. Muslim dalam sahihnya, Kitabul Iman Bab ad-Dua Ilasy syahadatai wa sara’iil Islam, no. 19, Jil. I, hlm. 50
[30]Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bary Syarah Sahih al-Bukhari, Jil III hlm. 360
[31]Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, hlm. 85. Sebagaimana yang dikutip olehProf. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm 126
[32]HR. al-Bukhari dalam sahihnya, Kitab Az-Zakat Bab As-Shadaqah Min Kasbin Tayyib no 1410. Lihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Ju’fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jil. II, hlm. 108
[33] HR. Muslim dalam sahihnya Kitab al-Hibat bab Tahrimur Ruju Fis Shadaqati wal Hibat ba’dal Qhabdi, no 1622, lihat. Muslim bin al-Hajjaj Abul Husain al-Qusyairi an-Naisyaburi, Sahih Muslim, Jil. III, hlm. 1240, HR. Ibn Majah dalam Sunannya, Kitab ash-Shadaqah Bab ar-Ruju’u Minas Shadaqah, no 2391. Lihat Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid Ibn Majah al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Jil. II, hlm. 799, dan HR. Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Kitab Musnad Bani Hasyim Musnad Abdullah bin ‘Abbas, no 3269. Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jil V, hlm. 312
[34]HR. Imam Muslim dalam sahihnya, Kitab az-Zakat bab Irdhaus Su’ah, no 989. Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abul Husain al-Qusyairi an-Naisyaburi, Sahih Muslim,Jil. II, hlm. 685
[35]Menurut penulis pendapat yang paling kuat adalah menampakkannya supaya menjadi contoh yang baik dan menghindari su’udzan. Hal ini dikarenakan zakat adalah kewajiban seperti shalat wajib yang lebih utama dilakukan di masjid supaya menjadi contoh bagi orang lain
[36] Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Jil. III, hlm. 1994
[37] Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah, al-Mausuah al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2009, Jil.III), hlm. 73
[38]Ibid., hlm. 72
[39]Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu ,jil 3,hlm. 1995
[40]HR. Muslim dalam sahihnya, Kitabul Aqdiyah Bab Naqdil ahkamil Batilah, no 1718. Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abul Husain al-Qusyairi an-Naisyaburi, Sahih Muslim, Jil. III, hlm.1433
[41] HR. al-Bukhari dalam Sahihnya, Kitabuz Zakat Bab Shalatil Imam Wa Dua’uhu Li Shahibis Shadaqah, no 1497. Lihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Ju’fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jil. II, hlm. 129. HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya Kitab Musnad Al-Kufiyyin Bab Hadits Abdullah Bin Abi Aufa no 19416, Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jil XXXII, hlm. 158
[42]Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu ,jil 3,hlm. 1995
[43] HR. al-Bukhari dalam Sahihnya, Kitabuz Zakat Bab Shalatil Imam Wa Dua’uhu Li Shahibis Shadaqah, no 1497. Lihat Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Ju’fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jil. II, hlm. 129. HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya Kitab Musnad Al-Kufiyyin Bab Hadits Abdullah Bin Abi Aufa no 19416, Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jil XXXII, hlm. 158
[44]Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu ,jil 3,hlm. 1995
[45] HR. Imam al-Bukhari secara muallaq dalam sahihnya, Kitab al-Libas bab Qaulillah Taala qul man … dan HR. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Musnad al-Mukatsirin minas Shahabah bab Musnad Abdullah bin Amer bin Ash, no 6695
*By Admin.