
Shalat iftitah adalah salah satu shalat sunnah yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW sebelum melaksanakan shalat lail. Dalam himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah, shalat iftitah diinstruksikan untuk dilaksanakan sebelum pelaksanaan shalat tarawih.
Etimologi Iftitah bermakna pembuka. sedangkan terminologinya adalah shalat yang dilaksanakan dengan ringan sebelum memulai shalat malam. Untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, maka kita perlu untuk turt serta mempelajari tentang ibadah tersebut, dasar hukum dan pelaksanaannya agar ibadah kita lebih maksimal.
DASAR HUKUM
Adapun dasar hukum dari shalat iftitah adalah hadits nabi berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ) (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين و قصرها: ))198/768.)
Artinya : “Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila salah satu di antara kamu mengerjakan shalat Lail, maka bukalah shalatnya (shalat Iftitah) dengan dua rakaat ringan (pendek).” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin dan mengqasarnya, No. 198/7
Dari hadits tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita apabila hendak melaksanakan shalat lail untuk mengawalinya dengan shalat iftitah dua rakaat secara ringan.
TATA CARA PELAKSANAAN
Adapun tata cara pelaksanaan shalat iftitah adalah sama dengan shalat biasa, kecuali pada beberapa hal berikut :
Perbedaan bacaan doa iftitah setelah takiratul ihram.
Dalam shalat iftitah, bacaan doa iftitah setelah takbiratul ihram berbeda dengan shalat biasa. Hal tersebut didasarkan pada sabda Nabi :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلاَتَهُ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين و قصرها: 198/768.)
“Dari Abdir Rahman bin Auf, ia berkata: Saya bertanya kepada Aisyah Ummul Mukminin: Dengan membaca apa Nabi saw apabila membuka shalatnya (shalat Iftitah) pada shalat malam (shalat Lail)? Aisyah berkata:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
(Ya Allah, Tuhan Malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui perkara gaib dan syahadah (yang dapat dilihat), Engkau memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang mereka berselisih, tunjukilah aku kepada kebenaran ynag diperselisihkan dengan izin-Mu, Engkaulah yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus).” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin dan mengqasarnya: 198/758)
Atau dapat pula menggunakan dasar lain sebagaimana dipakai oleh Muhammadiyah sbb :
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اْليَمَانِ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضَّأَ وَ قَامَ يُصَلِّي، فَأَتَيْتُهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَرِهِ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَقَالَ سُبْحَانَ (اللهِ) ذِي اْلمُلْكِ وَالْمَلَكُوتِ وَاْلعِزَّةِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ (أخرجه الطبرانى في الأوسط: رجاله موثقون، ومقررات مجلس الترجيح المحمدية صفحة: 350)
“Dari Khuzaifah bin al-Yaman, ia berkata: Saya mendatangi Nabi saw pada suatu malam, kemudian beliau berwudhu dan mendirikan shalat, lalu saya mendatanginya ikut shalat dan berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau menempatkan saya di sebelah kanannya, lalu beliau mengucapkan:
سُبْحَانَ (اللهِ) ذِي اْلمُلْكِ وَالْمَلَكُوتِ وَاْلعِزَّةِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
(Mahasuci Allah yang memiliki kekuasaan, kerajaan, keperkasaan, kekuasaan yang besar, kebesaran dan keagungan).” (HR. ath-Thabarani, dalam al-Ausath, hlm. 350)
Bacaan surat setelah fatihah
Dalam shalat iftitah, setelah usai membaca surat Alfatihah maka tidak dilanjutkan dengan membaca ayat alquran sebagaimana pada shalat biasa, namun langsung dilanjut kepada rukun selanjutnya, yakni ruku', Dasarnya adalah hadits Nabi :
بِتُّ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُوْنَةَ، فَقَامَ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شِنٍ فِيْهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ وَتَوَضَّأْتُ مَعَهُ، ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِيْنِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمُسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوْقِظُنِي، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ، قَدْ قَرَأَ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ، ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةٍ بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ فَأَتَاهُ بِلاَلُ فَقَالَ: الصَّلاَةُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَقَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ صَلَّى بِالنَّاسِ. [رواه أبو داود عن ابن عباس.
Artinya: “Aku bermalam di rumah Rasulullah saw pada suatu malam, ketika itu beliau berada di rumah Maimunah, lalu setelah lewat sepertiga atau seperdua malam beliau bangun dan pergi menuju ke tempat air lalu berwudlu, dan berwudlu pula aku bersama beliau. Kemudian beliau berdiri, aku di samping kirinya, lalu beliau menempatkan aku di sebelah kanannya, beliau meletakkan tangannya atas kepalaku seakan-akan beliau mengusap telingaku, seolah-olah beliau membangunkanku. Lalu Nabi saw shalat ringan dua rakaat hanya membaca Ummul Qur’an (surat Al-Fatihah) saja pada tiap rakaat, kemudian salam. Kemudian beliau shalat sampai sebelas rakaat bersama witir. Kemudian beliau tidur. Sesudah itu (sebentar kemudian) datanglah Bilal dan berkata: Shalat ya Rasulallah, maka beliau pun berdiri dan shalat dua rakaat (shalat sunat shubuh atau fajar), kemudian baru beliau shalat (berjamaah) bersama orang banyak.” [HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas].
Dilaksanakan sendiri atau berjamaah?
Shalat iftitah adalah salah satu shalat sunnah yang boleh dilaksanakan secara berjamaah. Dasarnya adalah hadits nabi di atas, dimana ketika Ibnu Abbas menginap di rumah Rasulullah, kemudian pada sepertiga malam rasul bangun dan berwudlu, ibnu Abbas ikut. Lalu ketika rasul mendirikan shalat, Ibnu Abbas juga ikut namun dengan posisi di sebelah kiri nabi, oleh Nabi ia diutus untuk pindah ke sebelah kanan (posisi shalat berjamaah). Melalui hadits tersebut dapat diketahui bahwasannya pada saat itu Rasulullah SAW melaksanakan shalat iftitah berjamaah bersama Ibnu Abbas RA.
Demikian sekilas mengenai permasalahan seputar shalat iftitah. Allahul Muwafiq.